
Membuat Perjanjian Screen Time
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.. Bismillahirrohmaanirrohiim.. Membuat perjanjian screen time keluarga menjadi solusi yang baik untuk seluruh anggota keluarga. Maksudnya adalah batasan-batasan untuk aktivitas screen time jadi lebih jelas dan tegas baik untuk anak maupun orang tua. Walaupun tidak mudah dan membutuhkan proses untuk sampai di tahap ini, yang penting akhirnya bisa sampai membuat sebuah perjanjian. Seperti apakah perjanjiannya?
Daftar Isi
Kenapa Butuh Perjanjian
Tidak bisa dipungkiri bahwa tantangan orang tua dan anak zaman sekarang adalah screen time. Gara-gara screen time seorang ayah lebih sibuk bermain game online daripada mengajak anaknya bermain. Akibat screen time seorang ibu merasa tidak punya waktu untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Seorang anak bisa mengalami gangguan konsentrasi akibat tidak dibatasi durasi screen time setiap harinya.
Pada akhirnya sesuatu yang berlebihan itu memang tidak baik. Awalnya mungkin tidak berlebihan. Tetapi karena enak, asyik atau merasa nyaman bahkan menemukan kebahagiaan tersendiri akhirnya mulai terlena.
Penambahan durasi screen time secara perlahan tapi pasti bisa jadi tidak dirasakan karena seperti alami saja. Tahu-tahu kita atau anak sudah menghabiskan waktu lebih dari enam jam di depan layar gawai.
Sebenarnya bagaimana cara mengatasi tentang problematika screen time ini sudah sering dibahas oleh para ahli. Diantara ibu-ibu sendiri pun sudah banyak yang berbagi pengalaman dan solusinya.

Untuk meningkatkan upaya pencegahan dan pengendalian screen time yang berlebihan ini pun sudah banyak riset yang dilakukan. Coba saja cari artikel-artikel ilmiah di Google Scholar. Permasalahannya tinggal apakah kita ingin berusaha mengatasi permasalahan screen time tersebut atau tidak.
Menurut kelas-kelas parenting yang aku ikuti, membuat perjanjian adalah salah satu pencegahan terjadinya durasi screen time yang berlebihan. Jadi bukannya tidak boleh sama sekali ya, kita bisa lihat bagaiman rekomendasi sesuai usia anak. Perjanjian ini juga menjadi solusi jika ternyata sudah kebablasan terjadi kecanduan atau mungkin belum sampai taraf kecanduan tapi sudah sangat berlebihan screen time-nya.
Bagaimana Cara Membuat Perjanjian Screen Time
Jawabannya adalah melalui proses trial and error.
Aku melakukan berbagai percobaan dan penyesuaian sejak anakku terpapar gawai. Faktor-faktor yang jadi bahan pertimbangan tentu banyak ya, mulai dari aktivitasku di rumah, harapan agar aku dapat beristirahat sejenak, reward, kebiasaan screen time ku dan suami serta lain sebagainya.
Selain itu, bagaimana memperlakukan anak dibawah usia sebelum sekolah dan setelah sekolah tentu juga berbeda ya. Kalau ditanya mana yang lebih mudah, terus terang aku tidak tahu jawabannya. Sepertinya masing-masing fase anak memiliki tingkat kemudahan dan kesulitannya sendiri.
Tapi entahlah.. Mungkin karena keterbatasan ilmu sehingga akhirnya penanganan screen time saat anakku berusia di bawah tujuh tahun tidak optimal. Alhamdulillah, anakku tidak kecanduan dan aku masih bisa mengendalikan dia tanpa harus emosi.
Dasar Perjanjian Screen Time
Setelah mendapatkan pencerahan melalui pelatihan Enlightening Parenting oleh ibu Okina dan timnya, aku merasa diusia anakku ini sudah mampu untuk meng-upgrade batasan untuk screen time. Anakku saat ini sudah masuk fase logika sehingga ia sudah bisa diajak berpikir dan berbicara.
Langkah pertama yang kulakukan adalah mengajak anakku untuk bersama-sama membaca rekomendasi ilmiah yang dapat diakses di Google. Contohnya adalah rekomendasi dari Komisi Eropa, Australia, All About Vision dan pemerintah Jerman.
Dari beberapa rekomendasi ini anakku bisa mengetahui durasi screen time yang dianjurkan sesuai usianya. Selain itu ia juga dapat mengetahui apa saja dampak-dampak dari screen time yang berlebihan. Setelah ia mengetahui dua hal ini kami pun mulai berdiskusi dan negosiasi kesepakatan screen time yang tepat untuk keluarga kami.
Merumuskan Kesepakatan
Sebagian besar rekomendasi durasi untuk anak usia sekolah adalah dua jam per hari. Karena sebelumnya aku sudah pernah eksperimen dengan mengizinkan anak screen time setiap hari dan ternyata dampaknya banyak yang negatif daripada positif, aku bisa dengan tegas tidak setuju dengan hal ini.
Kami pun sepakat screen time setiap hari boleh dilakukan hanya ketika anak libur sekolah. Jika anak bersekolah, maka hari sekolah tidak boleh kecuali hari Jumat. Karena hanya boleh saat akhir pekan, kami berkompromi dengan memberikan anak 2 x dua jam per hari kecuali hari Jumat.
Setelah durasi dan kapannya disepakati selanjutnya adalah merumuskan tentang jadwal jamnya. Sebelumnya aku sudah pernah mencoba tanpa jadwal tetap tapi ternyata malah menyulitkan untuk pembatasan durasi. Pernah bangun tidur langsung screen time. Oh itu sangat big no no! Supaya tidak kejadian lagi kami sepakat di jam-jam tertentu saja.
Setelah itu kami membuat kesepakatan gawai apa saja yang boleh dipergunakan oleh anakku. Hal ini penting agar ia memiliki batasan dan mengetahui tentang privacy. Smartphone milikku dan suami tidak boleh dipergunakan oleh anak. Ia hanya boleh mengakses iPad, Nintendo Switch dan televisi. Untuk iPad pun, ia harus tahu bahwa jika aku dan suamiku membutuhkan untuk mengaji, bekerja atau belajar, maka ia tidak bisa meminjam iPad.
Meminjam?
Iya, ia kami beri tahu bahwa iPad adalah milikku yang fungsinya untuk bekerja dan belajar. Jadi, jika di jam screen time-nya aku membutuhkan untuk kepentingan tersebut, ia tidak bisa protes.
Berikutnya adalah ketentuan untuk mendahulukan solat dan morning check list. Jadi, tidak ada lagi belum gantu baju, belum sikat gigi, masih belekan sudah nongkrong screen time.
Konten
Yang terakhir adalah konten yang boleh dilihat. Anakku hanya boleh mengakses YouTube Kids. Apa saja kontennya sudah di-briefing oleh suamiku. Aku menambahkan bahwa ia hanya boleh mengakses aplikasi ini disebelahku atau ayahnya. Jika video yang ditonton sesuatu yang baru, ia harus menanyakan kepada kami terlebih dahulu.
Password untuk iPad ia tidak tahu. Memang jadinya repot setiap kali ia harus menghampiriku atau ayahnya untuk mengakses iPad. Tapi tidak apa-apa, sejauh ini tidak masalah baginya. Untuk game, ia tidak memiliki akses untuk mengunduh secara mandiri. Ketika ia ingin mengunduh mainan yang baru biasanya aku lihat dulu mainan apa itu, untuk usia berapa dan kami berdiskusi terlebih dahulu sebelum ada keputusan boleh atau tidak.

Sumber gambar: Canva.
Pelaksanaan dan Evaluasi
Apakah sejauh ini pelaksanaannya lancar?
Tentu saja tidak.. Sesuatu yang baru tentu butuh pembiasaan baik bagi kami orang tuanya maupun bagi anakku sendiri. Namun, enaknya dari adanya perjanjian ini adalah kami juga sudah sekalian sepakat tentang konsekuensi jika perjanjian screen time dilanggar.
Konsekuensi
Sejauh ini yang dilanggar adalah durasi dan konten. Untuk konten alhamdulillah belum sampai yang bagaimana sekali karena ia biasanya berada disebelahku atau suami sehingga ketika anakku lupa bertanya kami sudah mengingatkan terlebih dahulu.
Konsekuensi dari durasi yang berlebih adalah pemotongan durasi screen time berikutnya. Jika sudah keterlaluan sekali biasanya akhir pekan berikutnya sama sekali tidak ada jatah screen time. Kalau untuk konten, anakku tidak boleh mengakses YouTube Kids dulu.
Kami menerapkan konsekuensi dari perbuatan yang tidak sesuai kesepakatan bukan menghukum. Seperti saat tulisan ini ditulis, ia mendapat konsekuensi tidak screen time di akhir pekan ini karena selama liburan paskah ia sering sekali over time.
Tantangan
Yang sulit dari pelaksanaan kesepakatan ini adalah saat anak berada di luar rumah. Kami menerapkan di luar rumah jadwal screen time tidak berlaku. Anak tidak screen time saat misalnya sedang berada di acara pertemuan. Aku risih melihat anakku berdiam sendirian sibuk dengan gawai dan tidak berinteraksi dengan anak-anak lainnya.
Tentu anakku jadi bingung ketika anak-anak lain ada yang screen time. Jika sudah seperti ini biasanya aku mengizinkan asalkan dengan durasi maksimal dua jam saja dan anak tidak dapat lagi screen time di rumah. Untuk mensiasati biasanya aku meminta anakku membawa buku bacaan. Sehingga ketika sudah habis waktunya dan tidak ada yang diajak bermain, ia bisa beralih membaca buku.
Tentu tidak semuanya bisa dikendalikan ya..
Jika situasinya diluar kendaliku biasanya aku memasrahkan saja pada anakku. Yang penting ia sudah di-briefing terlebih dahulu. Anggap saja situasi-situasi yang tidak ideal sebagai latihan konsistensi baginya.
Alternatif untuk kegiatan anak supaya tidak terlalu banyak screen time dengan mengajak ke taman bermain indoor saat akhir pekan seperti di ceritaku tentang Ballorig.
Evaluasi
Jika aku tidak salah ingat, akhir bulan April ini saatnya kami evaluasi. Adakah yang perlu ditambah atau dikurangi dari kesepakatan yang sudah ada. Bagaimana pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. Apakah durasinya perlu dimodifikasi lagi.
Sejauh ini aku jadi lebih sedikit marah dan kesal karena dampak dari screen time sudah jauh berkurang. Jadi, semoga evaluasi nanti tidak perlu sampai merombak banyak hal.
Screen Time Orang Tua
Pada akhirnya kembali lagi ke diri kita masing-masing sebagai orang tua. Apakah merasa penting dan harus melakukan perubahan kebiasaan screen time. Menurutku tidak perlu sibuk mengurusi anak atau bahkan keluarga lainnya. Aku lebih memilih untuk fokus di dalam negeri dulu, diriku dan keluargaku sendiri. Jika memang merasa penting dan harus melakukan perubahan ya lakukan dengan konsisten dan serius.
Jika sudah dapat menanamkan kebiasaan baru, nanti di tengah masyarakat lainnya yang mungkin berbeda, kita dan anak kita bisa tetap teguh pada habit baru yang lebih sehat. Mulai dari diri sendiri dulu, perbaiki diri sendiri dulu bersama keluarga, tidak harus sibuk mengurusi perubahan yang lain dimana kontrolnya tidak ada pada diri dan keluarga kita. Jika yang kita lakukan baik nanti bisa menular dengan sendirinya, insyaAllah.
Khusus untuk bahasan screen time orang tua, kesepakatan untukku dan suami adalah tentang morning check list, ibadah, jadwal dan durasi screen time. Suami masih perlu latihan terus supaya tidak melanggar kesepakatan jadwal screen time dia. Sedangkan untukku adalah durasi. Contohnya seperti ini ketika menulis, alokasi waktu satu jam itu cepat sekali. Akhirnya aku sering over time juga.
Kami pun juga mendapat konsekuensi dari pelanggaran yang kami lakukan. Masih harus terus berlatih dan oleh karena itu evaluasi memang perlu sekali supaya bisa terus merubah kebiasaan menjadi lebih baik.
Baiklah, semoga ceritaku tentang perjanjian screen time keluarga kami ini dapat bermanfaat bagi teman-teman pembaca Michdichuns ya 🙂
Salam,
-ameliasusilo-

