
Ketika Ibu Sakit di Jerman
Ibu perantau sakit di Jerman atau di negara lainnya di seluruh dunia pada umumnya dapat mengakibatkan perubahan di dalam keluarga. Jika anggota keluarga dalam menjalankan kegiatannya sehari-hari membutuhkan bantuan ibu, maka ketika si ibu ini sakit biasanya akan menyebabkan mereka kebingungan dan gedubrak gedubruk.
Hai teman pembaca Michdichuns!
Aku tumbuh dengan sosok ibu yang memiliki status kesehatan yang baik. Dalam ingatanku, ibu jarang sakit. Kalau beliau sakit pun jarang sekali beliau mengeluh. Biasanya, beliau sakit kepala, batuk atau pilek. Itupun dalam keadaan sakit beliau masih tetap aktif di rumah.
Entah karena ibuku dikaruniai energi yang banyak atau memang beliau memiliki ambang sakit yang tinggi, saat sakit biasanya beliau hanya membutuhkan istirahat sebentar. Setelah itu, sudah merasa lebih baik dan bisa beraktivitas ringan kembali. Meskipun masih belum kembali bekerja ke kantor, ibu tidak berada di tempat tidur berhari-hari.
Apa yang dialami ibu sayangnya tidak terjadi padaku. Sejak kecil dulu, saat aku sakit, biasanya aku menghabiskan beberapa hari hanya berada di atas tempat tidur. Aku membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa kembali fit lagi.
Aku pernah mendengar katanya ibu tidak boleh sakit. Bahkan, ada ibu-ibu yang kuketahui memiliki pendapat yang sama dengan ini.
Kebetulan tema tantangan menulis (TTM) Kelas Literasi Ibu Profesional (KLIP) pekan ini temanya tentang sakit. Aku jadi semangat menceritakan pengalamanku saat sakit di perantauan. Apakah akhirnya aku bisa bangun dari tempat tidur saat sakit ketika sudah memiliki peran sebagai seorang ibu?
Katanya seorang ibu tidak boleh sakit? Eh, tapi apa yang terjadi ya kalau seorang ibu sakit?
TTM 26 Februari – 3 Maret 2024
Daftar Isi
Memilih Istirahat atau Aktif?
Sepanjang pengalamanku menjadi seorang ibu di perantauan ini, aku sudah pernah beberapa kali sakit. Mulai dari sakit ringan seperti pegal linu, migren, batuk pilek sampai sakit yang memerlukan isolasi di rumah, penyakit Covid-19.
Dari keseluruhan penyakit yang pernah kuderita saat aku memiliki peran sebagai seorang ibu ini, biasanya aku memilih untuk istirahat total. Apapun sakitnya aku akan mengungkapkan kepada suami dan anak-anak bahwa aku butuh istirahat karena sakit. Aku butuh tidur dan rebahan di atas tempat tidur.
Dengan beristirahat total ini aku memberikan tubuhku kesempatan untuk melawan penyakit sekaligus pemulihan yang tidak terburu-buru. Aku merasa memaksakan tubuh untuk sehat lebih cepat justru akan memberikan dampak yang tidak menyenangkan bagi tubuhku sendiri. Aku juga menyadari bahwa memaksakan untuk beraktivitas saat tubuh masih sakit akan menyebabkan durasi sakitku tambah lama.
Keputusan untuk beristirahat total ini tentu memiliki konsekuensi bagi anggota keluarga lainnya. Di rumah ada suami dan anak-anak yang aktivitasnya berhubungan denganku.
Tantangan Saat Aku Sakit
Untungnya, pak suami memiliki pengertian yang besar saat melihatku terkapar di atas tempat tidur. Beliau biasanya otomatis jadi mandiri mengurusi kebutuhannya yang biasanya kulayani.
Hal yang sama sayangnya tidak bisa 100% terjadi pada anakku yang sulung maupun yang bayi. Saat ini si sulung sudah bisa mandiri pulang pergi sekolah sehingga saat aku sakit hal ini tidak menjadi masalah.
Yang menjadi tantangan baginya adalah menyiapkan bekal makan saat ia tidak memesan makanan di kantin. Tantangan untukku adalah mengantar jemput si sulung ke kegiatan ekstrakulikulernya. Biasanya jika sudah seperti ini aku meminta bantuan dari tetangga. Jika tidak ada yang bisa dimintai tolong aku mengganti jadwal anak atau aku meliburkan si sulung dari kegiatannya selama aku sakit.
Tantanganku lainnya adalah si bayi. Memberi pemahaman kepada bayi bahwa ibunya sakit dan butuh istirahat rebahan di atas tempat tidur sepertinya tidak mungkin. Meminta si bayi untuk tidak mendekati ibunya yang sakit juga sulit apalagi aku menyusui.

Sumber gambar: Canva.
Dari pengalamanku, biasanya ada waktu-waktu tertentu dimana sakit akan berputar di dalam rumah. Yang pertama kali sakit bisa mulai dari anak-anak atau ayah. Kemudian akan berpindah ke yang lain saat yang sakit pertama kalinya sudah mulai merasa lebih baik.
Ini tantangan besar untukku sebab semuanya akan minta diperhatikan. Jika sudah mulai berputar seperti ini biasanya aku mendapat giliran paling akhir saat energiku sudah mulai habis, lelah dan rentan tertular. Aku yang sakit tetap diminta untuk memperhatikan suami dan anak-anak padahal aku juga ingin diperhatikan dan dilayani. Ketika aku sudah merasa makin drop suka tidak suka biasanya aku akan minta untuk istirahat total.
Situasi di Rumah Saat si Ibu Sakit
Sesuatu yang pada akhirnya memaksaku untuk bangun dari tempat tidur dan aktif melakukan kegiatan di rumah adalah keinginan untuk makan enak. Suamiku bisa masak tetapi daftar masakan yang dikuasai tidak banyak. Alternatifnya biasanya beli makanan tapi ya jenis makanannya terbatas.
Namanya juga hidup di perantauan dimana negara Eropa yang ditinggali memiliki jumlah muslim yang sedikit. Pilihan makanan halal berikut keragaman makanan yang dapat dimakan terbatas.
Jika aku sudah bosan dan ingin makan enak untuk menambah selera makan, maka aku tidak ada pilihan selain masak sendiri. Biasanya jika aku sudah memiliki energi, aku lakukan sendiri. Kalau masih merasa tidak terlalu fit aku akan meminta bantuan dari suamiku. Kami masak bersama-sama.
Hal lainnya yang menyebabkan aku tidak tahan adalah situasi di rumah yang berantakan. Beberapa kali aku pernah harus istirahat lebih dari tiga hari. Entah kenapa dalam durasi waktu tersebut rumahku bisa berantakan dari ujung ke ujung. Kondisi yang berantakan membuatku stres. Aku jadi tidak bisa istirahat dengan nyaman karena hal ini.

Sumber gambar: Canva.
Kemudahan Ibu Sakit di Jerman
Alhamdulillah ada beberapa kemudahan yang dapat dimanfaatkan saat seorang ibu sakit di Jerman. Yang pernah kualami sendiri adalah gotong royong dari tetangga dalam mengirimkan makanan saat ada ibu yang sakit tak berdaya. Aku pernah menjadi yang mengirimkan makanan dan sebaliknya pernah pula menerima bantuan makanan.
Ada saja ibu-ibu tetangga baik sesama orang Indonesia yang akan mengordinasi pengiriman makan. Makanan akan dikirimkan selama si ibu sakit.
Dari pemerintah juga ada bantuan yang dapat diperoleh jika orang tua yang biasanya mengurusi rumah tangga sakit. Keluarga dapat mengajukan permintaan bantuan ke asuransi kesehatan yang menaunginya. Sejauh ini yang kuketahui asuransi kesehatan publik Jerman yang memiliki skema ini.
Tentu saja ada syarat yang berlaku, antara lain :
- Apabila dalam keluarga tersebut paling tidak ada satu orang anak yang berusia dibawah 12 tahun atau memiliki anak berkebutuhan khusus yang membutuhkan perawatan tanpa ada batasan usia.
- Tidak ada lagi anggota keluarga yang dapat mengerjakan pekerjaan rumah tersebut.
Ketika aku sakit, aku memilih untuk tidak memaksakan diri untuk sehat. Aku merasa tubuhku mengirimkan sinyal untuk dipenuhi kebutuhannya saat sakit. Oleh karena itu, aku memilih beristirahat total dari seluruh kegiatan rumah tangga maupun di luar.
Dengan cara ini aku lebih cepat sehat dan aku merasa bahagia. Suami dan anakku yang pertama juga bisa memahami bahwa istri dan ibunya sedang sakit dan perlu istirahat untuk penyembuhan yang optimal.
Saat seperti ini biasanya suamiku mengambil alih tugas yang biasanya kulakukan. Si sulung pun biasanya berinisiatif untuk merawatku, memerhatikan ibunya. Katanya, ibunya memperhatikan dirinya saat sakit sehingga ketika aku sakit ia ingin memperlakukanku dengan sama. Allahumma baarik..
Pada akhirnya dengan saling memahami seperti ini semua anggota keluarga sama-sama senang dan bahagia. Tidak ada yang merasa dipaksa atau terpaksa. Kesehatan fisik dan mental ibu dapat terjaga.
Ibu yang sehat akan menciptakan keluarga yang sehat.
Semangaaaat ibu-ibu pembaca Michdichuns!
Salam,
-ameliasusilo-

